Revolusi Pendidikan Indonesia: Kunci Membuka Potensi Sumber Daya Alam dan Mengejar Ketertinggalan
LOVEBANDUNG.com | Oleh: Drs.Muhammad Bardansyah Ch, Cht
Indonesia, negara dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah, masih terjebak dalam ekspor bahan mentah tanpa nilai tambah signifikan. Salah satu akar masalahnya adalah ketertinggalan sistem pendidikan, yang menghambat pembangunan SDM berkualitas untuk mengolah SDA menjadi barang jadi. Sementara itu, Korea Selatan, China, dan Singapura telah membuktikan bahwa revolusi pendidikan adalah fondasi utama transformasi menjadi negara industri maju. Artikel ini menganalisis urgensi reformasi pendidikan di Indonesia serta pembelajaran dari ketiga negara tersebut.
Kondisi Pendidikan Indonesia: Masalah dan Dampaknya
Akses dan Kualitas yang Tidak Merata
Meski Anggaran Pendidikan mencapai 20% APBN (sekitar Rp612 triliun pada 2023), disparitas akses antara kota dan desa masih tinggi. Data UNESCO (2022) menunjukkan hanya 65% sekolah di daerah terpencil memiliki fasilitas laboratorium memadai. Jika kita membandingkan antara satu propinsi dengan propinsi lainnya, kita melihat masih terdapat kesenjangan ( Semisal Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi lainnya terutama di luar Jawa) pun demikian halnya antara propinsi dengan Kabupaten dan Kabupaten dengan daerah di bawahnya . ( Mirip dengan pola kemiskinan Struktural)
Kurikulum Tidak Relevan dengan Kebutuhan Industri
Kurikulum Indonesia dinilai terlalu teoritis dan minim praktik keterampilan teknis (OECD, 2021). Akibatnya, lulusan SMA dan perguruan tinggi kesulitan bersaing di sektor manufaktur. Anehnya setiap ganti mentri maka ganti kurikulum, ini seakan menjelaskan bahwa bangsa ini tidak punya Platform yang jelas di sector pendidikannya
Rendahnya Kapasitas Riset dan Pengembangan (R&D)
Alokasi dana R&D Indonesia hanya 0,2% dari PDB (World Bank, 2023), jauh di bawah Korea Selatan (4,6%) dan China (2,4%). Hal ini menghambat inovasi pengolahan SDA seperti mineral, kelapa sawit, dan karet.
Dampaknya, Indonesia menjadi “pengekspor mentah” terbesar: 80% nikel diekspor sebagai bijih (Kementerian ESDM, 2023), sementara Singapura mengimpor dan mengolahnya menjadi baterai lithium dengan nilai 10x lipat. Jadi terlihat begitu sangat berpengaruhnya kurikulum dengan kemajuan sebuah bangsa . Mari kita belajar dari negara-negara yang sebelumnya juga hancur lebur akibat perang dan revolusi, karena keterbatasan sumber, saya hanya akan membahas 3 Negara saja yakni Korea, China dan Singapura.
Pelajaran dari Korea Selatan, China, dan Singapura
Korea Selatan: Pendidikan STEM dan Kebangkitan Industri Teknologi
Pasca Perang Korea (1953), pemerintah fokus pada pendidikan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Rasio guru-siswa di bidang sains diatur 1:15 untuk memastikan kualitas (Kim & Lee, 2016).
Investasi besar di R&D (4,6% PDB) mendorong inovasi perusahaan seperti Samsung dan LG. Hasilnya, 93% ekspor Korea berasal dari manufaktur teknologi tinggi (World Bank, 2023) ; dan kita menyaksikan Samsung menguasai pasar Elektronic dunia dan Hyundai serta kawan-kawan menguasai mobil regular maupun mobil listrik dunia
China: Pendidikan Vokasi dan Skala Industri
Program “Vocational Education and Training (VET)” melatih 30 juta siswa/tahun dalam bidang manufaktur, logistik, dan energi terbarukan (Zhang, 2020).
Kemitraan industri-kampus (contoh: Huawei dengan Universitas Tsinghua) menciptakan lulusan siap kerja. China kini menguasai 28% ekspor manufaktur global (WTO, 2023). Hasilnya Huawei menjelma menjadi industry telekomunikasi yang di takuti bahkan oleh Amerika sekalipun. Produk-produk mereka juga membanjiri pasar dunia termasuk Indonesia. Saking banyaknya ada cerita humor yang mengatakan hanya nyawa, otak dan jantungku yang buatan Tuhan, lainnya adalah buatan China .
Singapura: Meritokrasi dan Global Talent
Sistem pendidikan berbasis meritokrasi dengan penjurusan ketat sejak SMP. Program “Teach Less, Learn More” (2004) fokus pada kreativitas dan pemecahan masalah.
Kebijakan imigrasi terbuka menarik talenta global, menjadikan Singapura pusat produksi semikonduktor bernilai US$80 miliar/tahun (EDB Singapore, 2022). Hebatnya Singapura yang hampir tidak punya sumber daya Alam memiliki kuasa penuh atas SDA milik tetangganya. Bayangkan negara-negara berkembang regional jika mengekspor barang harus lewat singapura. Pun demikian dengan perusahaan-perusahaan singapura, mereka merajalela di negara-negara regional termasuk Indonesia . semisal mereka mengimpor mineral, minyak maupun Gas mentah dari Indonesia , lalu mengolahnya dengan teknologi yang mereka miliki lalu menjulanya Kembali berkali-kali lipat kepada negara -negara yang mengekspor barang mentah tadi. Indonesia sebenarnya sudah menyadari itu , namun perlu kerja keras karena kurangnya tenaga ahli akibat Pendidikan yang salah urus
Rekomendasi untuk Indonesia
1. Reformasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Industri. Mengintegrasikan pendidikan vokasi dengan sektor prioritas (e.g., pertambangan, agroindustri) dan memperbanyak magang wajib.
2. Peningkatan Anggaran R&D dan Infrastruktur Pendidikan. Targetkan alokasi R&D minimal 1,5% PDB pada 2030 dan bangun “Science Park” di setiap provinsi penghasil SDA.
3. Kerja Sama Internasional dan Transfer Teknologi. Contoh: Kemitraan dengan Korea Selatan dalam pengembangan smelter nikel dan pelatihan tenaga ahli.
Kesimpulan
Revolusi pendidikan bukan hanya tentang membangun sekolah, tetapi menciptakan ekosistem yang menghubungkan pendidikan, industri, dan inovasi. Indonesia perlu mencontoh ketegasan kebijakan Korea Selatan, skala China, dan efisiensi Singapura untuk mengubah SDA menjadi keunggulan industri. Tanpa terobosan ini, Indonesia akan tetap menjadi penonton di negeri sendiri.
Dari perjalanan sejarah Republik ini , agaknya pemerintah perlu merevolusi system Pendidikan Indonesia. Bayangkan dengan Pendidikan yang masih seperti ini saja anak-anak muda Indonesia telah malang melintang menjuarai olimpiade saint tingkat dunia , apalagi jika Pendidikan Indonesia bisa lebih baik walau tentunya ada penyesuaian dari segi budaya dan religi tentunya, karena Indonesia adalah Bangsa yang berketuhanan yang tertera dalam Pancasila sebagai dasar negara.
Kita sangat berharap agar pemerintah mempertimbangkan Kembali pemangkasan Anggaran untuk Pendidikan ini , tapi dengan pengawasan yang ketat tentunya. Biaya ini tentunya akan lebih banyak di gunakan di sektor R&D (Research and Development).
Referensi
1. Kim, S., & Lee, J. H. (2016). “The Korean Paradox: High Growth and Low Productivity”. Asian Development Bank.
2. OECD. (2021). *Education in Indonesia: A Pathway to Inclusive Growth*. OECD Publishing.
3. World Bank. (2023). “World Development Indicators: Education and R&D Expenditure”.
4. Zhang, W. (2020). “Vocational Education and Economic Transformation in China”. Journal of Asian Economics, 45(3), 101-115.
5. EDB Singapore. (2022). “Annual Report on Manufacturing and Investment”.