Hijrah Solusi Jalan Damai: Dari Konflik Ke Rekonsiliasi Peradaban

Penulis: Guru Besar UIN Siber Syeikh Nurjati Cirebon.

 

LOVEBANDUNG.com |Oleh : Prof. Achmad Kholiq.

Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah umat manusia, hijrah bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi merupakan simbol peralihan menuju tatanan hidup yang lebih adil, damai, dan beradab. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah menandai transformasi besar, tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi dunia—yakni perubahan dari fase penindasan menjadi peradaban yang menjunjung tinggi nilai musyawarah, toleransi, dan koeksistensi.

Di tengah dunia modern yang masih diliputi konflik, krisis identitas, dan polarisasi sosial, spirit hijrah kembali relevan untuk dihadirkan sebagai inspirasi rekonsiliasi dan solusi damai lintas bangsa dan peradaban. Artikel ini mengajak kita menelaah kembali makna hijrah sebagai fondasi membangun masa depan dunia yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Hijrah: Historis dan Relevansi Global

Setiap kali kalender Islam bergulir ke 1 Muharram, umat Muslim di seluruh dunia diingatkan pada satu peristiwa besar yang bukan hanya mengubah jalannya sejarah Islam, tetapi juga memberi pelajaran penting bagi dunia: hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Banyak yang mengira hijrah hanya soal perpindahan fisik—dari satu kota ke kota lain. Padahal, hijrah adalah langkah strategis, penuh visi, dan sarat pesan kemanusiaan.

Hijrah bukanlah pelarian. Ia adalah keputusan sadar untuk menyelamatkan iman, membangun peradaban, dan menciptakan ruang damai bagi dakwah. Di tengah tekanan, kekerasan, dan boikot terhadap kaum Muslim di Makkah, Rasulullah SAW memilih hijrah sebagai jalan keluar. Tapi yang menarik, tujuan akhirnya bukan sekadar “selamat”, melainkan “membangun”.

Di Madinah, hijrah menjadi titik balik: dari umat yang tertindas menjadi umat yang memimpin. Dari kelompok kecil yang dimusuhi menjadi komunitas yang disegani.

Nilai-nilai yang lahir dari peristiwa hijrah—toleransi, solidaritas, keadilan sosial, dan rekonsiliasi antarumat—justru sangat relevan dengan dunia kita hari ini. Ketika konflik sektarian masih berkobar, ketika diskriminasi rasial dan ideologi politik memecah belah masyarakat, hijrah mengajarkan bahwa perubahan tidak lahir dari kekerasan, melainkan dari visi damai dan kemampuan merangkul perbedaan.
Lebih dari 14 abad setelahnya, dunia masih membutuhkan semangat hijrah.

Sebuah ajakan untuk “berpindah” dari sikap saling mencurigai menuju saling memahami. Dari ujaran kebencian menuju dialog lintas keyakinan. Dari perpecahan menuju rekonsiliasi. Jika dulu hijrah menjadi jawaban atas krisis di Jazirah Arab, maka kini semangat yang sama bisa menjadi jawaban atas krisis global yang menghantui peradaban manusia.

Hijrah adalah bukti nyata bahwa Islam bukan agama kekerasan, melainkan agama yang mampu menyatukan berbagai kelompok dengan latar belakang berbeda dalam bingkai damai dan keadilan. Dan di situlah letak relevansi global hijrah: menginspirasi dunia yang tengah mencari jalan keluar dari siklus konflik dan ketegangan tanpa akhir.

Spirit Hijrah dan Solusi Krisis Kemanusiaan

Di tengah situasi global yang diliputi gejolak perang, konflik identitas, polarisasi politik, dan krisis pengungsi, dunia seolah kehilangan arah untuk menemukan jalan damai yang berkeadilan. Ketimpangan sosial-ekonomi kian melebar, dan kelompok-kelompok rentan menjadi korban pertama dari ketidakstabilan yang terjadi di berbagai penjuru bumi.

Dalam konteks inilah, spirit hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah layak diangkat kembali sebagai narasi etis dan spiritual yang relevan untuk menjawab krisis kemanusiaan kontemporer.

.Hijrah bukan hanya langkah penyelamatan diri, tetapi tindakan transformatif yang melahirkan masyarakat baru berbasis nilai: ukhuwah (persaudaraan), ta’āyusy (koeksistensi), dan ḥimāyah (perlindungan terhadap yang lemah). Ketika Nabi tiba di Madinah, beliau tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.

Sebaliknya, beliau membangun Piagam Madinah yang menjadi fondasi hidup berdampingan antar suku dan agama. Langkah ini merupakan model sosial inklusif yang sangat dibutuhkan di era krisis global saat ini.

Dalam konflik modern—dari Palestina hingga Sudan, dari Myanmar hingga Ukraina—spirit hijrah mengajarkan bahwa keberagaman bukan untuk dihapus, melainkan untuk dirajut dalam keadilan. Nabi tidak membangun Madinah dengan memaksakan keseragaman, melainkan merangkul pluralitas sebagai kekuatan membangun peradaban bersama.

Lebih dari itu, hijrah menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kelompok tertindas dan pengungsi. Kaum Muhajirin yang terusir dari tanah kelahirannya menjadi simbol para pencari suaka hari ini. Rasulullah dan kaum Anṣār menunjukkan bahwa kebaikan kolektif lahir ketika solidaritas bukan sekadar slogan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata berbagi ruang, rezeki, dan tanggung jawab sosial.

Dalam konteks ekonomi global yang timpang, hijrah juga menginspirasi semangat distribusi kekayaan dan akses keadilan. Struktur sosial Madinah mengajarkan pentingnya tata kelola ekonomi yang menyejahterakan tanpa meminggirkan. Ini menjadi kritik atas sistem global yang sering kali memprioritaskan akumulasi kapital ketimbang nilai-nilai kemanusiaan.

Spirit hijrah, dengan demikian, bukan nostalgia sejarah, tetapi inspirasi praktis bagi dunia modern: berpindah dari ketidakpedulian menuju empati, dari kebencian menuju toleransi, dari kejumudan menuju perubahan yang humanistik. Dalam era krisis multidimensi seperti sekarang, dunia butuh nilai-nilai yang membumi—bukan sekadar strategi kekuasaan.

Islam, Rekonsiliasi dan Peradaban Damai

Sayangnya, Islam masih sering menjadi korban stigma global: dicitrakan sebagai agama yang keras, intoleran, bahkan radikal. Narasi ini diperparah oleh konflik internal umat, ekstremisme atas nama agama, dan penyalahgunaan simbol keislaman dalam aksi kekerasan. Namun bila kita kembali kepada sejarah Islam yang autentik, terutama dalam konteks hijrah, akan tampak bahwa Islam sejatinya adalah agama rekonsiliasi dan pembangun peradaban damai.

Peristiwa hijrah mencerminkan peralihan dari fase penindasan ke fase penguatan nilai-nilai multikultural, musyawarah, dan perlindungan hak asasi manusia. Rasulullah tidak membangun kekuasaan eksklusif bagi kaum Muslim di Madinah. Beliau justru menciptakan masyarakat majemuk dengan hak dan kewajiban yang setara, sebagaimana tercermin dalam Ṣaḥīfat al-Madīnah atau Piagam Madinah.

Musyawarah (syūrā) menjadi prinsip dasar dalam memimpin. Nabi melibatkan semua unsur masyarakat dalam pengambilan keputusan. Bahkan dalam urusan perang dan perdamaian, beliau membuka ruang diskusi dan menghargai suara kolektif. Ini membuktikan bahwa Islam bukan anti-demokrasi, tetapi justru memperkuat prinsip partisipatif dan konsultatif dalam kehidupan publik.

Perlindungan terhadap kaum minoritas juga ditegaskan secara nyata. Kaum Yahudi di Madinah, selama mereka tidak melanggar perjanjian, hidup damai berdampingan dengan Muslim.

Hal ini menjadi teladan penting dalam konteks dunia saat ini yang masih bergulat dengan isu diskriminasi dan eksklusivisme berbasis identitas.
Islam tidak hanya bertahan dalam situasi damai, tetapi aktif menciptakan dan merawatnya. Ajaran islāḥ (perbaikan), ta’āwun (kerja sama), dan ta’āyusy silmī (hidup berdampingan dalam damai) adalah prinsip moral sekaligus sosial yang dapat menjadi basis baru rekonstruksi peradaban dunia yang hari ini tengah krisis kepercayaan dan kemanusiaan.

1 Muharram, Momentum Hijrah Menuju Perdamaian Dunia

Tahun Baru Islam, 1 Muharram, bukanlah sekadar pergantian angka dalam kalender Hijriah. Ia adalah momen spiritual dan sosial, yang seyogianya dimaknai sebagai ajakan hijrah kolektif umat manusia menuju perdamaian yang lebih nyata.

Dalam dunia yang kian terpolarisasi oleh konflik ideologi, politik identitas, dan ekstremisme digital, semangat hijrah menjadi oase kesadaran. Bukan hijrah fisik, melainkan hijrah kesadaran—dari prasangka menuju saling percaya, dari kekerasan menuju dialog, dari eksklusivisme menuju inklusivitas nilai.

Hijrah di 1 Muharram juga mengingatkan kita bahwa perdamaian tidak lahir dari elite semata, tetapi dibangun dari bawah—dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga kebijakan negara. Maka, setiap individu memegang peran penting untuk menjadi agen perubahan dalam lingkupnya masing-masing.

Kini, saat dunia dibayangi krisis kemanusiaan, bencana ekologis, serta retaknya nilai-nilai sosial, semangat hijrah dapat menjadi jawaban moral dan spiritual. Hijrah bukan sekadar sejarah, tetapi manifesto kemanusiaan untuk semua zaman.

Penutup

Hijrah bukan hanya kisah masa lalu yang dikenang setiap 1 Muharram, melainkan pesan abadi tentang keberanian untuk berubah, komitmen terhadap keadilan, dan tekad membangun perdamaian. Di tengah dunia yang dilanda krisis multidimensi—dari konflik ideologis hingga keretakan sosial—semangat hijrah menjadi ajakan untuk berpindah dari kekerasan menuju rekonsiliasi, dari ketegangan menuju kerja sama lintas perbedaan.

Kini saatnya menjadikan hijrah sebagai paradigma global: bahwa membangun peradaban tidak cukup dengan kekuatan, tetapi dengan nilai-nilai kemanusiaan, inklusivitas, dan perdamaian yang berkelanjutan.

Cirebon, 27 Juni 2025.