Menghadirkan Jalan Baru USU, University for Society

LOVEBANDING.com : Jangan baca esai ini, sendiri. Bahaya! Tidak guna. Namun usah takut pulak pengintaian “the big brother”, anda dalam  kawalan akal-budi dan moral-nurani, di kanan. Namun, takut akan godaan “itu dan ini”, di kiri. Jangan takut tenggelam,  sudah disiapkan “perahu”: university for society.

Ayo, masuk ke ruangan bermuruah itu, pejamkan mata, bawa rasa;  bayangkan darah anda mengalir ke aorta,  ucapkan tiga janji dalam doa: ‘Pengabdi Bangsa’, ‘Cita Persada’, ‘Membangun Cita’.

Rasakan wangi akal dan warna putih aura jiwa. Ruang sidang itu hening. Tapi darah anda mengalir  lebih hening lagi, tanpa suara dunia. Bayangkan kalau sang darah itu menganut mazhab ‘hubbud dunya’, kita harus bayar berapa?

Darah oh darah;  yang mengalir ke jantung melalui pembuluh vena;   yang membawa darah miskin oksigen ke atrium kanan, lalu ke ventrikel kanan; yang ventrikel kanan memompa darah ini ke paru-paru untuk mengambil oksigen, dan sang darah kaya oksigen kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Yang dari sana, darah itu mengalir ke ventrikel kiri yang kemudian memompa darah kaya oksigen ke seluruh tubuh melalui aorta. Rasakan sensasi titik tuhan (God Spot) auto bekerja.

Anda dalam pengaruh God Spot. Tengoklah arah  meja panjang seolah duduk bukan hakim, jaksa, dan terdakwa, melainkan gagasan besar tentang masa depan universitas.

Yang diadili bukan manusia. Bukan kelakuan manusia. Bukan mangkirnya manusia. Bukan fe’el anti-budi manusia. Melainkan paradigma, sekali lagi: paradigma.

Yaitu: apakah kampus masih boleh bertengger di menara gading, atau ia harus turun ke tanah, ke sawah, ke pasar, ke laut?

Di ruang sidang itu, Prof. Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum. berdiri lalu duduk sebagai saksi utama. Dari Parbutaran, Pematang Siantar, Sumatera Utara dia berangkat. Bermula tarikh seorang anak desa yang tahu rasa getir tanah retak kemarau, hapal suara cangkul yang menumbuk bumi, mafhum  arti pendidikan sebagai jalan sunyi.

Kini, dengan bimbingan credo ‘Pengabdi Bangsa’,   Prof.Hasim  tulus-berani mengajukan visi-paradigmatik ini: University for Society.

“Universitas Sumatera Utara harus bertransformasi, unggul dalam riset, inovasi, dan kewirausahaan berbasis bioekonomi tropika dan pengetahuan terbuka,” ujarnya saat mendaftar sebagai calon rektor USU 2025–2030.

“Itu semua untuk pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.”

Di hadapan publik, ia menegaskan lagi:

“Visi kami adalah menjadikan USU sebagai universitas pengabdi bangsa, unggul dalam riset dan inovasi, mendorong kewirausahaan, bioekonomi tropika, dan pengetahuan terbuka. Semua itu harus kembali ke masyarakat, dirasakan nyata manfaatnya.”

OK. Cocok. Mendai. Lantas apa langkah konkritnya, duhai Prof?

Atas pertanyaan media (10/9/ 2025), Prof Hasim mengatakan dirinya memiliki komitmen untuk membawa USU menuju era baru sebagai University for Society.  Yakni USU yang tidak hanya unggul di bidang akademik dan riset, tetapi juga relevan, inklusif, dan berdampak nyata bagi masyarakat.

Salah satu sorotan utamanya, ingin memaksimalkan pengelolaan aset USU agar sanggup menekan tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Itu konkritnya.  Menjadi universitas yang terjangkau dan menjangkau. Bukan utilisasi muruah universitas. Itu konkritnya, juga.  Pernyataan itu jatuh seperti palu hakim: singkat, padat, menentukan.

“Tanah Air” Akademik

Sejak muda-belia, Hasim Purba ditempa disiplin keras. Disiplin adalah perhimpunan ratusan kebisaan. Hundreds of Habit. Bukan hanya jenjang stratum satu (S-1), lengkap strata  S-1, S-2, hingga S-3 dia  tuntaskan di “tanah air” akademiknya: USU.

Orang Batak berpituah: “Anakkon hi do hamoraon di au”—anakku adalah kekayaanku. Filosofi itu menuntun  Hasim Purba bahwa ilmu adalah pusaka-cum-harta karun,  dan konsistensi adalah jalan halal kemenangan akal.

Seingat saya, di ruang kerja yang penuh kertas, pada suatu sore dia pernah berkata ketika  menyusun Raperda:

“Satu kata dalam undang-undang bisa menentukan hidup banyak orang. Kita tak boleh sembrono.”

Mencerna itu, baginya  sebuah pasal, sepotong ayat bahkan sekerat norma  adalah bukan sekadar kalimat kerja, melainkan filosofi hidup. Hukum bukan teks dingin, ia adalah nafas hidup rakyat.

Dari riwayat akademik yang dilampirkannya kepada  Majelis Wali Amanat (MWA) USU cq.Panitia Penjaringan, tertera data riwayat akademik. Bahwa Hasim Purba  meneliti tanah ulayat, pelabuhan, pelayaran, sengketa merek. Dia meneliti dan turun langsung ke lapangan, mendengar petani bertanya polos:

“Pak Profesor, apakah tanah kami akan aman?” Saya pastikan dari riwayat akademiknya maka Hasim Purba kekira menjawab: “Hukum harus juga milik bapak.” Itu bukan teori, melainkan empati.

Perahu University for Society

Visinya menjadikan USU pusat riset bioekonomi tropika—pertanian, perkebunan, kelautan, energi terbarukan. Yang mendorong keterbukaan ilmu. Yang memperluas beasiswa. Yang menempatkan masyarakat sebagai mitra.

“USU harus menghasilkan lulusan yang tidak hanya pintar, tetapi juga kreatif, inovatif, dan berjiwa entrepreneur,” tegasnya lagi dengan logat Medan yang kentara, dan sesungging senyum seperti biasa.

Di sinilah metafora itu bakal lahir. Bayangkan USU sebagai perahu besar yang berlayar menuju pulau tujuan bernama Keadilan Sosial. Jika perahu itu kokoh, perahu USU akan menembus badai.

Tetapi jika satu papan hilang—papan ilmu, papan etika, papan pengabdian—maka bocorlah perahu itu, karam sebelum sampai.

Gurindam lama mengingatkan: “Jikalau perahu tiada berpengayuh, alamat karam di tengah samudera. Jika ilmu tiada beretika, alamat hilang ke dasar dunia.”

Seperti kata Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953–1969):   “In civilized life, law floats in a sea of ethics.”

Majelis pembaca kudu mafhum, bahwa: hukum, ilmu, dan pengabdian tak bisa dipisahkan dari etika. Tanpa itu, universitas hanya jadi kapal mewah yang bocor halus di tengah samudra.

Ketika mendaftar penjaringan calon Rektor USU, Prof.Hasim Purba  tegar didampingi jamak senior, junior, dan sahabat. Di antara helai-helai berkas pendaftaran calon Rektor,  terselip dokumen penting: surat rekomendasi resmi dari Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (PP IKA USU).

Surat itu ditandatangani langsung  Ketua Umum PP IKA USU. Sebuah nota dukungan dan bukti bahwa visi Hasim Purba bukan berdiri sendiri, tetapi ditopang jejaring organisasi alumni yang solid.

Dukungan itu bukan hanya administratif, melainkan ikatan emosional. Ketua Umum PP IKA USU—yang juga Wakil Menteri Agama—menyampaikan pernyataan hangat pada Rakernas IKA USU, 31 Agustus 2025 di Jakarta. Katanya,  yang paling penting dari sebuah universitas bukan hanya bangunan dan gelarnya, tetapi ikatan emosional para alumninya. “Kita harus membentuk dan merawat  emotional bounding yang kuat”.

Sembari menambahkan penting membuat geng kebaikan. Alumni senior menjadi mentor bagi alumni baru, menjadi promotor bagi yang berminat  paripurna dalam karier dan skills.

Dengan begitu, “USU bukan hanya kampus, tapi keluarga besar yang saling menguatkan.”

Kalimat itu jatuh seperti pledoi yang membela nilai luhur almamater. Alumni bukan sekadar nama dalam buku, tetapi energi sosial yang bisa menggerakkan perubahan.

Penulis ternama sekelas Andrea Hirata mungkin akan menyebutnya bagaikan “benang tenun Melayu: setiap helai rapuh, tetapi ketika dipintal bersama, menjelma kain yang kuat, indah, dan berguna”. Begitu pula alumni USU.

Jejak Global, Akar Lokal

Visi Prof.Hasin Purba itu berkelindan dan analog dengan jamak model kampus di luar negeri.

Di Inggris, University of Liverpool menjadikan riset sebagai perusahaan. Wrexham menghidupkan konsep Civic University.

Di Amerika, universitas negeri membawa misi Land-Grant—ilmu untuk petani dan rakyat.

ASEAN mendorong Entrepreneurial University, meski sering lebih teknokratis ketimbang humanis.

Hasim Purba menambahkan sesuatu yang khas: riset dan kewirausahaan berpadu dengan keadilan sosial. Dia bicara start-up, tapi juga sawah. Pun, bicara indeks sitasi, tapi juga nelayan Belawan.

Jika sivitas academica membaca statistik prestasi formal USU hari ini, jangan mangkir wasiat yang hidup  dari founding parent almamater USU. Jangan lupa girah sejarah, dan ketauladanan bahwa USU yang lahir tahun 1952 dari tekad rakyat, demi pemajuan ilmu, pengabdi bangsa, bukan satelit penguasa.

Mars USU mengingatkan setiap generasi kelahiran almater USU akan janji sejarahnya: kampus ini harus selalu bersama rakyat, menjadikannya sejahtera, seperti makna logonya.

Sepotong Mars USU bergema di tengah visi ini:

“…Perguruan Tinggi Pengabdi Bangsa, menjunjung tinggi tiap usaha, tingkatkan karya ilmu nan utama…”

Lirik itu bukan sekadar lagu, melainkan sumpah yang diwariskan.

Epilog:

Ruang sidang ultra-peradilan yang mengadili sang paradigma itu kembali hening. Palu jatuh tiga kali. Putusan bukan dari hakim, melainkan dari rakyat, civitas academica, dan alumni. –dalam ikatan emosional  USU Jaya.

Jika visi misi subsider janji  Prof. Hasim Purba ditegakkan dengan integritas, maka USU akan dikenang bukan karena  ranking semata, tetapi karena keberpihakannya: dari menara gading ke kampus rakyat, dari Padang Bulan ke padang dunia, dari langit ke bumi university for society yang ternama dan berbudi. UKT terjangkau, USU menjangkau. Usah puka salah, jangan pula risau.

Dan,  sejarah akan menulis: seorang anak desa dari Parbutaran berani mengembalikan universitas ke akar kelahirannya—universitas untuk rakyat, universitas untuk kehidupan, mencetak ‘Pengabdi Bangsa’.

Mars Universitas Sumatera Utara (Lirik Lengkap):

“Universitas Sumatera Utara/ 

Perguruan Tinggi Pengabdi Bangsa/ 

Menjunjung Tinggi Tiap Usaha/

Tingkatkan Karya Ilmu Nan Utama.

Universitas Sumatera Utara/ 

Membina Semangat

Cinta Persada/ 

Membangun Raga

Jiwa Merdeka/ 

Pancasila Landasan Cita.

Marilah Mari Kita Bersama/ 

Bersatu Padu Membangun Cita/ 

Untuk Kejayaan

Nusa dan Bangsa.

Universitas Sumatera Utara/ 

Perguruan Tinggi Pengabdi Bangsa

Menjunjung Tinggi Tiap Usaha/ 

Tingkatkan Karya Ilmu Nan Utama/ 

Universitas Sumatera Utara/ 

Membina Semangat

Cinta Persada/ 

Membangun Raga

Jiwa Merdeka/ 

Pancasila Landasan Cita

Marilah Mari Kita Bersama/ 

Bersatu Padu Membangun Cita/ 

Untuk Kejayaan

Nusa dan Bangsa”.

USU jaya, jaya, jaya!  Dengan menghadirkan jalan baru (and lawfull) USU. Tinggalkan gaya. Bangun karya: Pengabdi Bangsa! Tabik.

 

(Adv. Muhammad Joni, SH.MH)