KDM Dituduh Malak Warga Seribu, Ini Arah Kebijakan yang Sebenarnya

LOVEBANDUNG.com : Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), menjadi sasaran tuduhan keji di media sosial oleh seorang individu yang menudingnya “memalak” atau melakukan pungutan liar (pungli) sebesar Rp1.000 per orang per hari. Tuduhan tersebut, yang disampaikan dengan nada provokatif dan penuh amarah, mengklaim bahwa KDM berencana memungut dana ini dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk buruh dan anak sekolah.

Pungli terselubung ini disebut-sebut sebagai program yang mengatasnamakan rakyat dan dana bantuan desa, yang dipicu karena KDM dan atasannya sudah “kelaparan” dan tidak bisa lagi melakukan korupsi dari anggaran negara.

Lebih lanjut, si penuduh mengaitkan kebijakan pungutan Rp1.000 per hari ini dengan ambisi politik KDM untuk pemilihan umum 2029. Program-program KDM, yang dituduh mendahului program nasional dan didukung oleh koneksi politik tingkat tinggi, dianggap sebagai settingan untuk menjadikan KDM sebagai bintang politik.

Narasi ini menyerukan kepada warga Jawa Barat untuk menolak dan memakzulkan KDM karena dianggap menciptakan “gembel berjamaah” melalui pungli yang terselubung.

Menanggapi tuduhan tersebut, KDM menunjukkan realitas yang terjadi di Saweng Kaperi, lokasi yang ia jadikan tempat penampungan dan layanan pengaduan bagi warga. Berbanding terbalik dengan tuduhan pungli, tempat tersebut justru dipenuhi oleh puluhan warga yang datang dengan berbagai masalah pelik, mulai dari urusan sertifikat tanah, kesehatan, hukum, hingga kesulitan ekonomi.

Dilansir dari Bapenda Jabar, Rabu 8 Oktober 2025, KDM menegaskan bahwa penumpukan aduan ini terjadi karena sistem di level pemerintahan di bawahnya tidak berfungsi dengan baik.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian KDM adalah Ibu Aas dari Cianjur, yang BPJS-nya tidak aktif karena menunggak iuran hingga Rp1,2 juta. Ibu Aas, seorang penjual gorengan yang harus bekerja sendiri setelah bercerai, tidak mampu membayar tunggakan tersebut, sehingga ia tidak bisa berobat.

KDM menyoroti bahwa ini adalah contoh nyata bagaimana masalah kesehatan dasar pun tidak dapat diselesaikan oleh desa/kabupaten, dan masalah tunggakan iuran sederhana ini seharusnya bisa diselesaikan di tingkat daerah.

Selain tunggakan iuran, banyak warga datang karena membutuhkan biaya pendukung hidup, meskipun biaya pengobatan sudah ditanggung BPJS. Misalnya, warga Purwakarta yang suaminya sakit dan berobat cuci darahnya sudah gratis, namun ia membutuhkan bantuan biaya hidup karena suaminya tidak bisa lagi bekerja.

Begitu pula warga Indramayu yang anak sakit jantung, tetapi terkendala biaya ongkos untuk pulang-pergi ke rumah sakit rujukan di Jakarta.

Warga juga membawa masalah yang lebih kompleks. Seorang warga Kuningan, misalnya, harus membayar Rp20 juta hingga Rp74 juta untuk alat medis bagi anaknya yang sakit jantung, yang tidak dicover oleh BPJS.

Sementara itu, seorang warga Ciamis harus berjuang mengurus kepulangan anaknya (TKI di Saudi) yang disandera dan diminta ganti rugi Rp40 juta, serta kasus sengketa tanah dengan PT Agra yang melibatkan warga Pabuaran.

Di tengah tumpukan masalah ini, KDM akhirnya mengklarifikasi esensi dari program “seribu sehari” yang dituduhkan sebagai pungli. KDM menjelaskan bahwa program tersebut bernama “Rerean Warga Sapoe Saribu” (Sumbangan Warga Seribu Sehari), yang merupakan sebuah gerakan sosial yang wajib dibentuk di tingkat paling bawah (desa/kecamatan/kabupaten).

Program ini bukan mengumpulkan uang untuk Gubernur, melainkan untuk membuat kotak bantuan sosial warga di tingkat lokal.

Tujuan utama dari Rerean Warga Sapoe Saribu adalah agar dana yang terkumpul dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah warga di tempat mereka sendiri. KDM mencontohkan, jika dana sosial desa terkumpul, maka tunggakan BPJS Rp1,2 juta Ibu Aas bisa langsung dibayar oleh desa.

Dengan demikian, masalah-masalah kecil hingga menengah tidak perlu lagi menumpuk dan diselesaikan oleh Gubernur, yang justru membebani KDM yang seharusnya mengurus hal-hal yang lebih makro.

KDM menutup dengan kritik tajam kepada para pemimpin daerah: Kepala Desa, Camat, Bupati, dan Walikota. Ia menilai bahwa penumpukan aduan yang ekstrem ini membuktikan bahwa fungsi pemerintahan di tingkat bawah tidak berjalan (tidak berfungsi).

KDM menekankan bahwa masalah warga tidak akan menumpuk di tempatnya jika para pemimpin di bawahnya membuka layanan pengaduan dan mengurus warganya dengan baik, sehingga warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh ke Gubernur hanya untuk urusan sepele.

Poin-Poin Utama: KDM Dituduh Palak Warga Seribu Sehari:

• Tuduhan: KDM dituduh melakukan pungli (pungutan liar) Rp1.000 per orang per hari dari berbagai kalangan, termasuk anak sekolah.

• Motivasi Tuduhan: Pungli disebut sebagai akibat KDM dan atasannya “kelaparan” karena tidak bisa korupsi lagi, dan sebagai settingan untuk ambisi politik 2029.

• Nama Program: Rerean Warga Sapoe Saribu (Sumbangan Warga Seribu Sehari).

• Bukan Pungli KDM: Program ini adalah Gerakan Sosial Warga yang wajib dibentuk di tingkat lokal (RT/RW/Desa/Kecamatan), bukan mengumpulkan uang untuk Gubernur.

• Tujuan Utama: Dana sosial ini dimaksudkan untuk membantu warga yang kesulitan di tingkat lokal (misalnya, membayar tunggakan BPJS atau biaya ongkos berobat), sehingga masalah tidak perlu menumpuk ke Gubernur.

• Tunggakan BPJS: Kasus Ibu Aas (penjual gorengan) yang menunggak BPJS sebesar Rp1,2 juta dan tidak bisa berobat.

• Biaya Non-Medis: Warga mengadu untuk kebutuhan biaya hidup/ekonomi karena pasangan sakit, atau biaya ongkos untuk berobat ke Jakarta, meskipun biaya medis dicover BPJS.

• Biaya Alat Medis: Anak sakit jantung di Kuningan membutuhkan alat medis Rp20 juta – Rp74 juta yang tidak dicover BPJS.

• Kasus Hukum/TKI: Warga mengurus anak TKI di Saudi yang disandera dan diminta ganti rugi Rp40 juta, serta kasus sengketa tanah dengan PT. Agra.

• Fungsi Lumpuh: KDM mengkritik keras bahwa para pemimpin daerah (Kepala Desa, Bupati, Walikota) tidak berfungsi (tidak buka layanan pengaduan).

• Akibat: Warga terpaksa datang langsung dan menumpuk di tempat Gubernur karena masalah mereka tidak terselesaikan di level desa/kabupaten.